Friday, February 15, 2013

Perjuangan Politik Kaum Perempuan Di Iran : Kendala Dan Prospeknya (IS-17)

Berbicara politik di era modern dewasa ini dalam lingkup Ilmu Hubungan Internasional, tidak lagi hanya membicarakan aspek power dalam kaitan pendominasian suatu negara terhadap negara lain. Aktor atau pelaku politik juga tidak lagi terbatas dilakukan oleh negara/state saja. Menariknya pula, politik juga telah memberikan ruang,  bukan hanya kepada kaum laki-laki, tetapi juga kepada kaum perempuan.  Pencapaian ini bukan berarti tanpa perjuangan, melainkan melalui pergerakan-pergerakan politik yang pada akhirnya dapat diterima oleh pemerintah.
Perjuangan politik kaum perempuan di berbagai negara melalui proses yang berbeda-beda dan  mendapatkan respon yang berbeda-beda pula. Hal ini tergantung dari ideologi negara tersebut. Negara-negara Barat atau negara maju cenderung lebih cepat menerima perjuangan perempuan dibandingkan negara-negara miskin, terlebih lagi negara-negara Islam yang sangat kaku terhadap memberikan peraturan terhadap keberadaan kaum perempuan. Negara Iran menjadi salah satu negara Islam yang cukup berbeda dari negara-negara Islam lainnya dalam memandang perempuan.
Kaum perempuan adalah salah satu kekuatan masyarakat yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam mengisi kemerdekaan bangsa untuk mewujudkan sistem kehidupan dalam internal suatu negara itu sendiri maupun secara global, yang semakin memberikan penekanan pada aspek demokratisasi, perlindungan hak asasi manusia, lingkungan hidup, serta supremasi sipil.

Gerakan perempuan atau lebih dikenal sebagai gerakan gender sebagai gerakan politik sebenarnya berakar pada suatu gerakan yang dalam akhir abad ke -19 di berbagai negara Barat dikenal sebagai gerakan “suffrage”, yaitu suatu gerakan untuk memajukan perempuan baik di sisi kondisi kehidupannya maupun mengenai status dan perannya. Inti dari perjuangan mereka adalah bahwa mereka menyadari bahwa di dalam masyarakat ada satu golongan manusia yang belum banyak terpikirkan nasibnya. Golongan tersebut adalah kaum perempuan.[1]
Stereotipe peran seksual yang ada, mengatakan bahwa politik adalah dunia laki-laki. Politik selamanya selalu dikaitkan dengan maskulinitas, sesuatu yang bertentangan dengan feminitas.[2]Pernyataan ini jika dikaitkan dengan perempuan dalam politik dikatakan sebagai dua sisi mata uang logam yang saling bertentangan. Hal ini disebabkan karena telah dibentuk oleh budaya masing-masing negara yang menekankan kedudukan perempuan dalam lingkungan keluarga sedangkan politik yang selalu berkaitan dengan “power” dikaitkan dengan laki-laki. Betapapun pada perkembangannya ke depan, ketika aktifitas perempuan dalam dunia politik mulai tampak, namun peranan mereka masih sangat terbatas baik secara kuantitatif yang akhirnya berdampak pada penentuan kualitas perempuan dalam politik. Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila padaa level-level yang tinggi, seperti organisasi politik maupun jabatan tertinggi di kalangan pemerintahan, dimana keputusan dan kebijakan dibuat, terlihat jumlah perempuan sangat sedikit, itulah yang dikemukakan Almond seperti yang dikutip Patrick, mengatakan bahwa tingkat partisipasi politik kaum perempuan adalah rendah.[3]
Mendekati akhir abad ke ke-20, lebih dari 95% negara di dunia menjamin dua hak demokratik perempuan yang paling mendasar (fundamental), hak memilih (right to vote) dan hak untuk mencalonkan diri dalam pemilihan (right to stand for election).[4]Negara Iran mengakui kedua hak tersebut pada tahun 1963[5]melalui Revolusi besar-besaran pasca berakhirnya kedudukan Shah. Meskipun demikian, dalam kenyataannya, tetap saja kaum perempuan menjadi makhluk yaang termarginalkan dalam kaum politik, menjadi bagian yang tersubordinasikan dalam dunia politik seperti yang terjadi di hampir seluruh negara-negara Islam.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa mengapa begitu banyak muncul feminin-feminis di negara-negara Asia dan negara-negara Arab yang lain, jawabannya adalah karena begitu banyak ketidakadilan gender (gender inequality) yang mereka alami yang kesemuanya itu disebabkan oleh politisasi agama yang melahirkan aturan-aturan yang tidak adil serta budaya patriarkal yang sangat kental di negara-negara mereka.[6]
Meskipun analisis mengenai gerakan gender bukan merupakan hal yang baru, namun minat sebagian besar masyarakat untuk tahu mengenai gerakan gender dan permasalahannya masih cenderung sedikit bahkan timbul salah pengertian dan salah duga mengenai gerakan ini dan mengertikannya sebagai sebuah gerakan yang progresif dan radikal. Hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa permasalahan gender amat kompleks dan rumit. Perlunya penegasan pemisahan pemahaman akan gerakan gender sebagai gerakan politik dan kajian wanita sebagai kegiatan akademik sangat urgen urgen untuk memahami permasalahan yang sebenarnya. Persoalannya adalah bagaimana menfokuskan penelitian pada apa yang diperjuangkan dan kawasan mana yang dianggap mewakili permasalahan secara keseluruhan.
Meski pada kenyataannya feminisme atau gerakan gender lahir di Barat, namun tidak berarti bahwa gagasan-gagasan mereka dianggap tidak relevan bagi negara-negara Islam. Hal ini didasarkan pada pemahaman karena suatu gagasan tidak dapat dibatasi dalam batas-batas bangsa maupun geografi.[7]
Bagaimanapun juga, ketika istilah feminisme dan gender bersifat asing, konsep sesungguhnya mengungkapkan suatu transformasi. Jadi hal ini dapat menjelaskan bahwa feminisme tidak dimasukkan secara paksa. Feminisme serta perjuangan feminis muncul di banyak negara disebabkan karena muncul suatu kesadaran tentang hak-hak demokrasi serta ketidakadilan yang semakin menyentuh hak-hak separuh dari penduduknya, dalam hal ini kaum perempuan. Pada kenyataannya, kesadaran feminisme ini muncul selama kurun sejarah tertentu ketka kesadaran politik memuncak, selama perjuangan-perjuangan melawan despotisme lokal dari para penguasa feodal.
Hak politik juga menjadi dasar yang paling penting mendorong terjadinya gerakan berbasis gender yang membawa issue kepentingan perempuan di dalamnya. Hak politik setiap manusia (laki-laki maupun perempuan) telah diatur dalam Universal Declaration of Human Rights, yaitu pada pasal 19, 20, dan 21 dengan rincian sebagai berikut [8]:
Pasal 19
Setiap individu berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hak ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas (wilayah).
Pasal 20
1.      Setiap individu mempunyai hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat secara damai.
2.      Tidak seorangpun boleh dipaksa untuk memasuki sesuatu perkumpulan.
Pasal 21
1.      Setiap individu berhak turut serta dalam pemerintahan negerinya, secara langsung atau melalui wakil-wakil yang dipilih dengan bebas.
2.      Setiap individu berhak atas kesempatan yang sama untuk diangkat dalam jabatan pemerintahan negerinya.
3.      Kehendak rakyat harus menjadi dasar kekuasaan pemerintah; kehendak ini harus dinyatakan dalam pemilihan umum yang dilaksanakan secara berkala dan jujur dan yang dilakukan menurut hak pilih yang bersifat umum dan yang tidak membeda-bedakan, dan dengan pemungutan suara yang rahasia ataupun menurut cara-cara lain yang menjamin kebebasan memberikan suara.

Negara Iran adalah negara yang menjadi salah satu negara Islam yang cukup berbeda dari negara-negara Islam lainnya dalam memandang perempuan pasca Revolusi.  Revolusi Islam Iran ini melahirkan konfigurasi yang khas antara negara Iran dan Institusi Islam, bahkan revolusi ini merupakan sebuah peristiwa terbesar dalam sejarah masyarakat Iran. Revolusi tersebut menandai puncak pergolakan politik antara penguasa Iran dan kelompok ulama yang telah berlangsung lama, akibatnya terjadi perubahan yang fundamental dalam sistem ketatanegaraan Iran yang berpengaruh terhadap sistem pemerintahan Iran sekarang, dimana Negara Iran akhirnya berkiblat pada Syariah Islam sebagai konstitusi negara.
Selain masalah politik kenegaraan, syariat Islam yang mengatur Undang-Undang Republik Islam Iran, juga berbicara tentang hak dan kewajiban kaum perempuan di dalam negara. Pengakuan atas hak dan martabat perempuan di Iran sudah ada sejak  Konstitusi/UUD Republik Islam Iran pertama kali dibahas dan dirumuskan oleh para ulama yang tergabung dalam Majelis-e-Khubregan. Meskipun hanya satu ulama perempuan yang tergabung dalam majelis tersebut, UUD yang dihasilkan sangat respek terhadap kepentingan perempuan. Dalam Pembukaan UUD RII terdapat dua paragraf yang khusus berbicara tentang perempuan, yang intinya menyebutkan, kewajiban pemerintah memberikan penambahan (proporsi) yang besar atas penunaian hak-hak  kaum perempuan yang pada rezim sebelumnya menderita opresi yang besar. Sedangkan dalam tubuh UUD RII terdapat dua pasal khusus yang berkaitan dengan perempuan, yaitu pasal 20 dan 21. Pasal 20 membahas kesetaraan di hadapan hukum. Di pasal ini tertulis, “Semua warga negara, baik laik-laki maupun perempuan, secara setara menerima perlindungan hukum dan memiliki semua hak kemanusiaan, politik, ekonomi, sosial, dan budaya, yang sesuai dengan kriteria Islam”. [9]
Sedangkan pasal 21 membahas khusus tentang hak-hak perempuan. Pemerintah harus menjamin hak perempuan, yang sesuai dengan kriteria Islam, dan mewujudkan tujuan-tujuan di bawah ini: 1) menciptakan lingkungan yang kondusif untuk perkembangan kepribadian perempuan dan pengembalian hak-hak mereka, baik material maupun intelektual; 2) perlindungan terhadap para ibu, terutama pada masa kehamilan dan pengasuhan anak, dan perlindungan terhadap anak-anak yatim; 3) membentuk pengadilan yang berkompeten untuk melindungi keluarga; 4) menyediakan asuransi khusus untuk janda, perempuan tua, dan perempuan tanpa pelindung; 5) memberikan hak pengasuhan kepada ibu angkat untuk melindungi kepentingan anak ketika tidak ada pelindung legal.[10]
UU Republik Islam Iran mengatur dengan sangat idealnya posisi perempuan dan hak-hak yang dapat mereka dapatkan baik dalam tatanan sosial maupun politik. Hal ini sangat berbeda dengan kondisi Iran pra Revolusi 1979. Sebelum revolusi, perempuan Iran bukan hanya dipandang sebagai alat reproduksi serta disalahgunakan, tapi dari sisi pemikiran mereka juga tertawan oleh budaya asing. Perempuan Iran sebelum revolusi adalah kaum yang konvensional dengan pemikiran yang terbelakang. Paradigma lama memposisikan wanita sebagai harta yang dimiliki pria, yang menempatkan posisi pria lebih tinggi daripada wanita. Akibatnya, hanya kaum pria yang dapat memiliki kekuasaan dalam berbagai bidang, sementara wanita dianggap tidak cocok untuk terjun dan mempunyai peranan dalam berbagai bidang di masyarakat.
Perubahan kedudukan perempuan sebelum revolusi dan setelah revolusi menjadi alasan ketertarikan penulis untuk menganalisis perjuangan pergerakan perempuan di Iran ke dalam skripsi berjudul “Perjuangan Politik Kaum Perempuan di Iran : Kendala dan Prospeknya”

Untuk mendapatkan file lengkap dalam bentuk MS-Word, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File atau klik disini


0 comments:

Post a Comment